MASA LIBURAN DI PARASAKH • Kisah Hidup Orang Meck di Pegunungan Folmimpi
Saat Musim Kemarau adalah hari yang paling dinanti-nantikan. Memulai kehidupan disini agak drastis, musim pun secara bertalian akan bergantian. Terlihat para pria memegang seikat Panah (Yin) beserta anakkan (Pee'i, Puss, Mall) yang disandarkan diatas bahu, sebuah Kampak digantungkan pula, Parang yang juga tidak pernah absen di tangan sebagai penebas rumput berembun ditengah jalan.
Disusul belakangan oleh ibu-ibu dan gadis-gadis elok, dengan pikulan Noken (Akh) yang bertaraf dari kepala menjulang ke belakang. Perjalanan yang sangat menyenangkan saat segerombolan Babi (Pham) yang mengikuti majikannya, seekor Anjing (Kam) menjadi pengawal setia dalam setiap petualangan.
Nampaknya enggan, ketika suasana pemukiman masyarakat terhening disertai kekeringan yang berkepanjangan. Matahari akan amat panas, kali-kali mengering, tak ada lagi tetesan deru hujan dari langit biru. Semua pintu rumah telah tertutup, dedaunan hijau diselipkan pada cela pintu, adalah suatu pelebaya rumah sedang dalam masa liburan.
Tak dapat dipungkiri, bahwa ini adalah tradisi masa liburan yang dilakukan turun-temurun. Jauh sebelum itu, orang Meck telah mengenal masa liburan sebagai bentuk rekreasi ataupun piknik dan sebagainya. Seperti diketahui Parasakh menjadi destinasi wisata istimewa. Kendatipun demikian untuk suku historik yang bermukim di atas pegunungan Folmimpi.
Kehidupan mulai berpusat di Parasakh, terdapat kukusan dusun-dusun kecil yang diselimuti Jerami ditengah hutan penyejuk daerah tropis terbaik di dunia. Terdengar puluhan bahana hewan yang beraneka ragam, akan terlihat ratusan flora endemik yang tumbuh menghiasi dan mengelilingi dusun-dusun.
Langit yang cerah, punggung gunung sangat terlihat karena pancaran cahaya Matahari. Drama alam dan keindahan semakin menambah suasana hati terpikat untuk berada di tempat ini berbulan-bulan. Karena terpatri, akan membuat setiap orang untuk selalu datang berlibur dan menikmati setiap lentingan suara alam pegunungan di kawasan ini.
Sekumpulan Ilalang mulai kering, sehabis dibabat untuk berkebun, halaman dan seisi rumah makin bersih dan rapih. Barang bawaan yang bergelantungan di dinding, tingkat langit rumah yang dipenuhi dengan kayu bakar. Disinilah kehidupan baru akan dimulai. Api dinyalakan di tengah tungku untuk menghangatkan rumah yang lembap, asap putih akan mencari jalan keluar lewat cela-cela papan.
Parasakh memiliki nama-nama dusunnya tersendiri (Sekhmakh lomakh, Pisirongko, Howelengka, Komperekh, Pangkik, Masa'angkola, dan lainnya), seperti itulah orang Folmimpi kerap menyebutnya. Satu kali besar (Sesom) dan kali-kali kecil lainnya membelai dusun membuatnya terletak terpisah-pisah.
Hidup pun terpampat disini, mereka akan membuka lembar baru, melihat dunia baru. Tanpa ragu-ragu kehidupan akan teranyar, pikiran dan perasaan tak akan menyita batin. Akan lebih terasa kenikmatan, keindahan, kebahagiaan dengan ketenaran mereka sebagai orang berbudaya. Prakarsa rute-rute rekreasi serta piknik ditata dan diatur dengan baik.
Hutan akan menjadi tempat berburu, gemuruh kali akan menarik empati untuk berdandan ataupun berenang dalam kedinginan air yang sama persisnya es batu. Pada belahan dusun rangkaian kebun yang berbaris dan terstruktur dibubuhi tanaman makin indah.
Orang Folmimpi menikmati masa liburannya di Parasakh. Sejauh langit dari bumi, kehidupan di hutan mempertemukan mereka dengan musim Pandanus (Yaluk li), musim Merpati (Yalma li), musim Kusu (Mana li), musim Jamu (Wa'ale li). Sedangkan di dusun akan terdapat Musim Petatas (Kwaneng li), musim babi (Pham li) dan segala sesuatu yang membentuk dan memberi hidup datang secara bersamaan termasuk kehidupan dimana bayi-bayi kecil akan terlahir.
Segala kelimpahan yang didapatkan bukan semata-mata dan serta-merta karena hasil usaha pencarian manusia. Tetapi bersumber dari "IMAKHNE" (Yang Ilahi). Jutaan syukur senantiasa menggema dilangit Ilahi. Demikian orang Meck memahami dan meyakini Tuhan dalam hidup dan budaya mereka.
Tiada hari yang terindah selain Parasakh, disinilah mereka merasa berada di ujung dunia dengan kebajikan, tanpa persolan dan beban, terasa memiliki harapan dan kehidupan yang layak untuk dihuni.
Penulis : Seno R. Pusop Jr.
Komentar
Posting Komentar