Perbukitan Pinia Menyimpan Nafas Leluhur: Kampung Bersejarah di Jantung Papua
Pagi hari di Pinia adalah puisi yang hidup. Matahari muncul perlahan dari celah-celah Fola, menembus kabut dan menyentuh pucuk perbukitan Mingkifu, puncak yang mengawasi Pinia dari atas. Cahaya pagi memandikan dua gunung sekitarnya dalam kemilau hangat, memantul di lembah kali Sesom, seolah sang surya menuruni tangga langit untuk menyapa bumi.
Udara pagi begitu sejuk dan bersih, menggantikan dinginnya malam dengan pelukan hangat sinar mentari. Tak ada permulaan hari yang lebih indah daripada duduk sejenak, menghangatkan diri di bawah sinar matahari yang memberi kekuatan pada tulang dan semangat pada jiwa. Di hadapan mata, lanskap Pinia membentang seperti lukisan tak berbingkai, drama alam yang memikat dan tak pernah sama dari satu hari ke hari berikutnya.
Meski siang terasa nyaman dengan suhu 25-30°C, malam di Pinia bisa menusuk tulang, berkisar 15-20°C, bahkan lebih dingin di musim tertentu. Namun, orang-orang Meck telah lama berdamai dengan hawa pegunungan. Di rumah-rumah adat beratap jerami dan daun pandanus berduri, mereka tidur berdekatan, mengelilingi tungku api yang menyala di tengah ruang. Di sanalah dongeng-dongeng leluhur (kom) dibisikkan sebelum tidur, tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam rumah adat laki-laki.
Pinia memang diberkahi sinar matahari hampir setiap hari, namun langit di sana punya kehendaknya sendiri. Mendung perlahan turun, awan-awan merayap lembut menyelimuti gunung hingga batas pandang seolah lenyap. Para pelancong sering merasa seakan mereka telah tiba di ujung dunia. Dan di saat-saat seperti itulah, waktu seolah berhenti; semuanya hening, sakral, dan nyaris spiritual.
Namun hujan pun punya waktunya. Ia turun dengan suara gaduh, bersama angin yang mendesak dari celah bukit. Lenguhnya menggugah kenangan dan melahirkan keheningan. Orang-orang Meck akan duduk melingkari perapian, berbagi kisah dan kehangatan di tengah dingin yang meresap ke dalam tulang.
Ketika langit kembali jernih, Pinia pun hidup lagi. Lelaki dan perempuan kembali ke ladang dan hutan, menanam, berburu, dan merawat hidup yang berpijak pada alam.
Inilah dinamika hidup suku Meck, yang menenun masa lalu dan masa kini dalam tarian alam yang abadi. Meski zaman terus bergerak dan perubahan datang silih berganti, kampung-kampung kecil di perbukitan Folmimpi, rumah bagi 3.952 jiwa, tetap menyimpan denyut sejarah dan budaya yang nyala apinya belum padam.
Di balik lembut kabut dan kuatnya batu-batu Pinia, tersimpan warisan leluhur yang bernapas hingga hari ini, menghidupi alam, membimbing manusia, dan menyuarakan kearifan yang tak lekang oleh sang waktu.
Sangat menyenangkan kakandaku👏👏
BalasHapus