Negeri Seribu Satu Sejarah di Perbukitan Pinia
![]() |
Ada sebuah negeri di sudut timur Papua, di mana langit lebih biru dan angin lebih bijak. Di sanalah Pinia, perbukitan yang tak sekadar menggugah mata, tapi juga menggetarkan jiwa. Di hamparan Folmimpi yang membentang megah, setiap lekuk bukit, desir angin, dan jejak kaki manusia menyimpan cerita panjang—kisah tentang peradaban Meck yang telah mengalir melampaui zaman.
Safari ini bukan sekadar perjalanan kaki. Ini adalah ziarah nurani. Sebuah langkah pelan menelusuri jejak sejarah, meresapi denyut masa lalu, dan menyingkap rahasia peradaban yang dahulu hidup dari satu dongeng ke dongeng lain, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti yang pernah dituturkan oleh seorang filsuf Yunani yang terkenal Cicero: "Historia est Magistra Vitae" (Sejarah adalah Guru Kehidupan).
Ungkapan kuno itu menemukan maknanya di Pinia. Di negeri atap awan ini, sejarah tidak dibukukan, tetapi dihirup, diraba, dijalani. Ia bukan sekadar narasi, melainkan napas yang masih berembus melalui nyanyian anak-anak Meck, nyala api di rumah adat, dan tarian yang digelar di atas tanah leluhur.
Setiap manusia adalah mata rantai dari masa lampau. Di sinilah benang merah itu menjadi tampak jelas. Bangsa Meck hidup dalam pusaran waktu yang tidak terputus, dan Pinia adalah panggung di mana sejarah dan masa kini berdansa dalam harmoni.
Melangkahlah ke lembah Lolin, atau menengadahlah di kaki Gunung Sevem. Saksikan bagaimana kabut pagi menyelimuti alam seperti selendang surgawi. Dengarkan suara kali Sesom yang mengalun seperti syair nenek moyang. Di sini, wisata bukan sekadar hiburan. Ia adalah penghormatan. Ia adalah pembelajaran.
Surga Kecil, Sejarah Besar. Perbukitan Pinia bukan hanya menyajikan panorama alam yang memesona, tetapi juga museum hidup yang menawarkan bangunan-bangunan bersejarah, rumah adat yang masih berdiri gagah, serta tradisi yang terus dilestarikan dengan hormat. Ini adalah tempat di mana keindahan bersahabat dengan kearifan, dan alam berpadu mesra dengan budaya.
Bersafari di tempat ini artinya membuka hati seluas cakrawala. Setiap jengkal tanah, dari gunung yang kokoh hingga air terjun yang jatuh pelan di antara batu-batu purba, adalah saksi bisu dari perjalanan panjang umat manusia yang percaya pada hubungan suci antara bumi dan langit, antara roh dan tanah, antara leluhur dan anak cucu.
"Ke Pinialah aku kembali, kepada rumahku yang sesungguhnya," begitu gumam hati yang pulang dalam diam. Sebab Pinia bukan tempat asing—ia adalah rumah yang menunggu, firdaus yang memanggil, dan kisah yang memeluk kita dari balik waktu.
Tulisan ini hanyalah pengantar—seuntai pembuka dari ribuan cerita yang tertanam di setiap tebing, batu, dan suara di Perbukitan Pinia. Masih banyak kisah yang akan digali, ditulis, dan diwariskan. Maka jika engkau ingin menyentuh sejarah, mulailah perjalananmu ke tempat ini.
Pinia menanti. Dan di sanalah, sejarah akan memelukmu seperti sahabat lama.
Komentar
Posting Komentar